Sabtu, 06 November 2010

MENYOAL LEGALITAS ORGANISASI Oi

MENYOAL LEGALITAS ORGANISASI
Oi
SEBUAH DILEMA DARI
KETERLANJURAN YANG TAK BERUJUNG

Oleh : Pudji Pamungkas (*)

Aspek legal formal bagi sebuah
organisasi terlebih yang berskala nasional memang sangat penting. Hal ini bukan
saja menyangkut soal ketentuan peraturan perundang-undangan maupun persoalan
pengakuan negara (pemerintah) terhadap keberadaan suatu organisasi sebagai
sebuah badan/lembaga yang resmi dan sah (baik dengan status badan hukum atau
bukan), tetapi secara lebih luas legalitas ini juga akan berpengaruh terhadap
keleluasaan gerak organisasi itu sendiri dalam berinteraksi dengan berbagai
badan/lembaga/organisasi lain baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Begitu
juga halnya dengan organisasi Oi. Tanpa adanya legalitas ini organisasi Oi akan
mengalami kesulitan misalnya ketika akan membuka rekening bank atau melakukan
transaksi perbankan lainnya dan juga menjalin kerjasama program dengan
badan/lembaga lain baik pemerintah maupun swasta yang mempersyaratkan adanya
legalitas organisasi atau jika organisasi Oi ingin mendirikan unit-unit usaha
atau lembaga yang berstatus badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas, Koperasi,
dan/atau Yayasan.

Peraturan Pemerintah yang mengatur
tentang pendaftaran organisasi kemasyarakatan ini adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1986 sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1986 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara
Pemberitahuan kepada Pemerintah serta Papan Nama dan Lambang Organisasi,
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Persoalan legalitas organisasi Oi sebenarnya adalah persoalan klasik yang
selalu muncul dan menjadi perbincangan hangat dalam setiap kesempatan pertemuan
anggota Oi baik di tingkat nasional maupun di daerah dan tidak jarang
teman-teman anggota Oi di daerah yang cukup memahami persoalan organisasi juga
sering mempertanyakan masalah ini. Bahkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Oi
yang diselenggarakan di Gedung Joeang 1945 di Jalan Menteng Raya Jakarta pada
tanggal 8-9 September 2007 juga masih mempersoalkannya. Artinya selama 8 tahun
organisasi Oi berdiri, pekerjaan rumah (PR) yang tidak pernah terselesaikan
adalah persoalan legalitas organisasi. Menurut keterangan yang saya peroleh
dari BPP Oi pada tahun 2005 yang lalu, yang pernah dilakukan oleh BPP Oi
berkait dengan legalitas ini dalam periode masa bhakti Tahun 2003 – 2006
(dibawah kepemimpinan Sdr. Digo. DZ sebagai Ketua Umum) adalah mendaftarkan
logo organisasi Oi ke Direktorat Patent dan Hak Cipta (ketika itu dalam
proses).

Yang menjadi pertanyaan sekarang sebenarnya adalah, seberapa pelik dan
rumitkah persoalan legalisasi organisasi Oi ini? Mengapa sampai organisasi Oi
berjalan lebih dari 8 tahun persoalan ini tidak juga terselesaikan? Mengapa
persoalan ini masih selalu muncul? Dan mengapa Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi
seolah tidak pernah ada kemauan dan secara serius menyelesaikan persoalan ini?

Sebagai salah seorang ”pelaku sejarah” organisasi Oi nasional, saya
merasa terpanggil untuk turut memberikan tanggapan dan sumbang saran terhadap
persoalan ini dengan harapan pengungkapan masalah ini dapat menjadi bahan
perenungan dan pertimbangan bagi teman-teman pengurus maupun anggota untuk
dapat mencari solusi dan mengambil keputusan guna menyelesaikannya dengan cara
yang sebaik-baiknya.

Menurut hemat saya, persoalan yang sebenarnya terjadi dalam masalah
legalitas organisasi Oi ini adalah bukan pada persoalan serius atau tidaknya
BPP Oi mengurusnya, tetapi kesulitan yang dihadapi oleh BPP Oi bahkan pada
periode ketika saya masih menjabat sebagai Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2001/2002
pun menghadapi kesulitan yang sama. Kesulitan ini lebih karena adanya persoalan
mendasar yang tidak mudah untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya
(bahkan seperti menjadi sesuatu yang impossible).
Persoalan mendasar yang saya maksudkan adalah persoalan adanya Akta Pendirian
organisasi Oi yang ”telah terlanjur” dibuat secara salah (!). Kesalahan ini begitu
mendasar dan fatal, meski saya yakin dan bisa dimaklumi kesalahan itu bukanlah merupakan
kesalahan yang disengaja atau bukan tidak mungkin kesalahan itu terjadi karena BPP
Oi saat itu (Sdr. Iif Ranupane, dkk) menempuh jalan pintas yang lebih
mengutamakan pada prinsip ”pokoknya” organisasi Oi dibuatkan akta pendiriannya
di hadapan Notaris namun dengan tanpa mempertimbang kan aspek-aspek yuridis dan
historis serta dampaknya dikemudian hari. Ini adalah rentetan dari sebuah
”kecelakaan sejarah” yang disebabkan karena ”keteledoran masa lalu”. Mengapa
demikian? Mari kita simak peristiwa yang terjadi lebih dari 8 tahun yang lalu
persisnya pada saat diselenggarakannya Silaturahmi Nasional Oi pada tanggal
15-16 Agustus 1999 di Desa Leuwinanggung, Kecamatan Cimanggis, Kotif Depok, Kabupaten
Bogor (sekarang masuk dalam wilayah Pemerintahan Kota Depok).

Dalam Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 yang saat itu dihadiri lebih
dari 300 orang penggemar Iwan Fals dari 23 Provinsi di Indonesia yang mewakili
berbagai komunitas penggemar Iwan Fals (Iwan
Fals Fans Club
) dan unsur-unsur dari Iwan Fals Management (IFM) serta
Yayasan Orang Indonesia (YOI) sebagai pemrakarsa pertemuan, disepakati untuk
menyatukan para penggemar Iwan Fals dengan membentuk organisasi kemasyarakatan dengan
nama ”Oi” sebagai satu-satunya wadah (organisasi) bagi para penggemar Iwan Fals
dan secara otomatis melebur kelompok-kelompok Iwan Fals Fans Club (IFFC) yang banyak tersebar di seantero pelosok
tanah air kedalam wadah organisasi Oi. Keputusan lain yang dihasilkan Silaturahmi
Nasional Oi tahun 1999 adalah menetapkan logo organisasi Oi sebagaimana yang
masih berlaku hingga sekarang serta membentuk Badan Pengurus Pusat Sementara
(BPPS) Oi yang pada ketika itu terpilih Sdri. Kresnowati sebagai Ketua Umum
BPPS Oi dan selanjutnya menugaskan kepada BPPS Oi untuk dalam waktu segera
menyelenggarakan Musyawarah Nasional Oi yang pertama dan mengurus legalitas
organisasi dengan mendaftarkannya kepada instansi yang berwenang (Departemen
Dalam Negeri).

Namun pada saat itu BPPS Oi agaknya lebih memprioritaskan pada penyiapan penyelenggaraan
Musyawarah Nasional Oi yang pertama (yang diselenggarakan pada tahun 2000 di
Leuwinanggung), sehingga persoalan legalisasi Oi oleh BPPS Oi belum dapat
dilaksanakan dan selanjutnya ditugaskan kepada Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi
pertama hasil Musyawarah Nasional Oi Ke I Tahun 2000 yang pada ketika itu
terpilih sebagai Ketua Umum adalah Sdr. Iif Ranupane dari Provinsi Jambi dengan
Wakil Ketua Sdr. Indra Bonaparte (Jakarta Pusat) dan Sekretaris Jenderal Sdr.
Enong S. Riyadi (Jakarta Utara).

Meski Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 sebagai forum yang membentuk dan
mendeklarasikan berdirinya organisasi Oi telah membahas soal perlunya legalitas
organisasi Oi dan menugaskan kepada BPPS Oi untuk melakukan pendaftaran
organisasi Oi kepada instansi yang berwenang serta membuat Akta Pendiriannya
dihadapan Notaris, namun sayangnya (inilah asal muasal dari keruwetan yang
terjadi sekarang) pada saat itu Silaturahmi Nasional Oi tidak memikirkan tentang
mekanisme dan ketentuan tata caranya.  Dan sayangnya pula
penugasan oleh Silaturami Nasional Oi tahun 1999 kepada BPPS Oi tidak disertai
dengan adanya Surat Kuasa dari para pendiri/deklarator yaitu para peserta
Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999 yang berjumlah lebih dari 300 orang untuk
menghadap Notaris guna membuat Akta Pendirian Organisasi Oi. Semestinya pada
ketika itu dibuatkan sebuah dokumen pernyataan deklarasi organisasi Oi yang
ditandatangani oleh para pendiri/deklarator serta Surat Kuasa dari para
pendiri/deklarator. Inilah yang saya maksudkan dengan ”keteledoran masa lalu.”

Pada tahun 2000 Badan Pengurus Pusat (BPP) Oi yang pertama hasil
Musyawarah Nasional Oi Ke I Tahun 2000 yang dipimpin oleh Sdr. Iif Ranupane
sebagai Ketua Umum, Indra Bonaparte (Wakil Ketua), Enong S. Riyadi (Sekjen), Zaenal
Mutaqin (salah satu Ketua Departemen  BPP Oi), Kresnowati (mantan Ketua
Umum BPPS Oi) dan Iwan Fals yang mewakili Yayasan Orang Indonesia (YOI) sebagai
para penghadap, menghadap Notaris Rawat Erwady, SH  di Jakarta untuk membuat Akta Pendirian
organisasi Oi tanpa adanya Surat Kuasa menghadap dan membuat Akta Pendirian
dari para pendiri/deklarator. Dan akhirnya terbitlah Akta Pendirian organisasi
Oi dengan No. 01/Tahun 2000.

Belakangan ketika saya menjabat sebagai Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2001
berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional Luar Biasa Oi Tahun 2001 menggantikan
Sdr. Iif Ranupane (yang mengundurkan diri – dan sayapun akhirnya juga
mengundurkan diri dari jabatan saya) baru saya ketahui manakala saya membaca
bunyi salinan Akta Pendirian Organisasi Oi  tersebut yang ternyata hanya
mencantumkan nama 6 orang yaitu para penghadap sebagai pendiri organisasi Oi. Dalam
ketentuan akta pendirian suatu badan/lembaga/organisasi yang dibuat dihadapan
Notaris memang wajib ditulis/ dicantumkan nama para pendiri organisasi tersebut.
Dan kelaziman yang terjadi dalam pembuatan akta, Notaris dalam membuat akta memang
hanya mendasarkan kepada data-data dan keterangan dari para penghadap tanpa
harus melakukan penelitian kecuali sebatas pada keabsahan dokumen bukti
identitas diri para penghadap. Sedangkan data-data tentang pendirian organisasi
hanya didasarkan pada keterangan para penghadap atau dokumen Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) yang diajukan oleh para penghadap. Sehingga secara serta
merta Notaris hanya mencantumkan nama para penghadap yakni 6 orang tersebut
sebagai pendiri organisasi Oi. Artinya secara formal berdasarkan Akta Pendirian
No. 01/Tahun 2000 tersebut, organisasi Oi didirikan ”hanya” oleh 6 orang
tersebut. Hal ini tentunya bertentangan dan tidak sesuai dengan fakta sejarah
yang sebenarnya bahwa organisasi Oi didirikan dan dideklarasikan oleh lebih
dari 300 orang yakni para peserta Silaturahmi Nasional Oi tahun 1999.

Ini adalah kesalahan yang sangat prinsip dan mendasar karena akan
berakibat pada aspek yuridis dan historis. Menurut hemat saya, kesalahan  ini bisa jadi bukan sesuatu yang disengaja
melainkan lebih karena ketidaktahuan atau kekurangpahaman para pembuat Akta
(para penghadap) tentang aspek legal formal dan masalah kenotariatan atau
sebagaimana yang saya kemukakan di atas ada kemungkinan BPP Oi dan para
penghadap pada saat itu hanya berusaha memenuhi target ”pokoknya” Oi punya Akta
Notaris dan itu sudah cukup sebagai landasan pengertian bahwa organisasi Oi sudah
bisa dianggap legal dengan tanpa mempertimbangkan aspek lain. Padahal aturan
hukum formal di Indonesia, sebuah akta (meski itu dibuat dihadapan Notaris)
bukanlah merupakan dokumen negara yang menyatakan legalitas suatu lembaga/badan
atau organisasi, melainkan hanyalah sebuah keterangan yang dibuat dan
dicatatkan baik oleh seseorang atau beberapa orang di hadapan Notaris sebagai Pejabat
Pembuat Akta dan selanjutnya didaftarkan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri
setempat, tetapi bukan merupakan dokumen yang memberikan kekuatan hukum atau
pengakuan keabsahan dari negara (pemerintah) terhadap status badan hukum sebuah
organisasi. Akta Pendirian hanyalah merupakan salah satu syarat administratif untuk
memperoleh legalisasi dari negara (pemerintah). Kewenangan untuk memperoleh
status badan hukum hanya ada pada Menteri Kehakiman dan HAM RI dan di Indonesia
hanya dikenal  4 (empat) bentuk badan hukum yaitu : (1). Perseroan Terbatas; (2).
Yayasan; (3).
Koperasi; dan (4). Badan dan/atau lembaga yang dibentuk oleh negara/pemerintah berdasarkan
Undang-undang atau Keputusan Presiden. Sedangkan legalisasi yang dimaksud bagi
organisasi kemasyarakatan (Ormas)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hanyalah
bersifat pemberitahuan kepada pemerintah (dalam hal ini Departemen Dalam  Negeri cq Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa
dan Politik cq Direktorat Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan) dan
untuk selanjutnya organisasi/lembaga tersebut akan menerima Surat Keterangan
Terdaftar (SKT).

Dalam analisa saya bisa jadi pada saat pembuatan Akta tersebut, Notaris
bertindak tidak cukup cermat mengingat Anggaran Dasar Oi yang diajukan oleh
para penghadap dan selanjutnya dimuat dalam Akte Pendirian organisasi Oi tersebut
jelas-jelas tertulis bahwa Anggaran Dasar Oi tersebut adalah merupakan sebuah ketetapan
Musyawarah Nasional Oi Ke I Tahun 2000. Mestinya pada saat itu Notaris
mempertanyakan Surat Kuasa para penghadap yang menerangkan dan membenarkan bahwa
para penghadap benar-benar dalam kapasitas dan berhak serta sah untuk membuat
Akta pendirian dan bertindak sebagai dan/atau mewakili para pendiri organisasi
Oi.

Karena itu sejak saya membaca salinan Akta tersebut saya berpendapat
bahwa Akta Pendirian organisasi Oi No. 01/Tahun 2000 yang dibuat dihadapan
Notaris Rawat Erwady, SH tersebut adalah Akta yang dibuat secara salah karena
substansi isi keterangan Akta tersebut tidak sesuai dengan fakta yang
sebenarnya dan oleh karenanya Akta tersebut haruslah diubah. Persoalan yang
muncul kemudian untuk dapat meluruskan dan mengoreksi kesalahan yang bersifat
substansial tersebut yakni (misalnya) dengan membuat Akta Perubahan bukanlah
persoalan yang gampang. Akta Perubahan yang saya maksudkan adalah Akta baru
yang mengoreksi substansi isi Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 yang menyangkut penulisan
nama-nama para pendiri organisasi Oi yang mesti disesuaikan dengan fakta
sejarah yang sebenarnya. Ada 2 (dua) persoalan besar yang sampai saat ini masih
menjadi hambatan untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Pertama : Salinan asli Akta Pendirian organisasi Oi No. 01/Tahun 2000 tersebut
belakangan menurut informasi yang saya peroleh dari salah satu sumber yang mengetahui
persoalan ini dokumen itu ada pada Sdr. Iif Ranupane (?) dan masih menurut
sumber tersebut Sdr. Iif Ranupane hingga saat ini tetap bersikukuh untuk tidak
menyerahkan dokumen Akta tersebut kepada siapapun (Jika informasi itu memang benar
dan menurut rumor sikap Sdr. Iif Ranupane ini lebih karena persoalan konflik
yang ketika itu terjadi antara dirinya dan beberapa pengurus BPP Oi lainnya
dengan pihak Iwan Fals Management (IFM) yang berujung pada pengunduran dirinya
sebagai Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2001). Kalaupun misalnya dokumen Akta itu bisa
didapat kembali namun belum tentu Sdr. Iif Ranupane (?) mau menandatangani Akta
Perubahan (sesuai ketentuan hukum yang berhak melakukan perubahan Akta hanyalah
para penandatangan Akta pertama) yaitu 6 orang para penghadap. Tentang siapa sebenarnya
yang menyimpan salinan asli Akta itu bagi saya memang masih menjadi tanda tanya.
Keraguan saya terhadap informasi yang menyatakan bahwa salinan Akta itu berada
di tangan Sdr. Iif Ranupane adalah karena seingat saya pada saat kehadiran saya
yang terakhir kalinya di Kantor Sekretariat BPP Oi menjelang pengunduran diri
saya dari jabatan Ketua Umum BPP Oi pada tahun 2002, salinan asli Akta itu
beserta beberapa lembar foto copynya dan foto copy salinan Akta Yayasan Orang
Indonesia (YOI) masih berada dalam laci salah satu meja di ruangan Sekretariat
BPP Oi, dan sepanjang yang saya ketahui selama saya menjabat dan sesudah
pengunduran diri saya dari jabatan Ketua Umum BPP Oi seperti yang saya dengar
dari teman-teman Sdr. Iif Ranupane tidak pernah berada disana, sebab sejak
pengunduran dirinya setahu saya Sdr. Iif Ranupane hanya sekali berkunjung ke
Leuwinanggung dan itupun tidak ke Sekretariat BPP Oi tetapi ke salah satu warga
di Leuwinanggung). Keterangan yang menyatakan bahwa salinan asli Akta itu ada
pada Sdr. Iif Ranupane agak sulit dipercaya, kecuali memang ada pihak tertentu yang
menyerahkan kepadanya. Jadi sampai sekarang tentang siapa sebenarnya yang
memegang salinan asli akta tersebut bagi saya masih misterius.

Keberadaan Akta No. 01/Tahun 2000 itu sendiri memang tidak mungkin
dibatalkan sekalipun misalnya BPP Oi mengajukan surat permohonan pembatalan
kepada Notaris yang bersangkutan. Sebuah Akta hanya dapat dibatalkan atau
dinyatakan batal demi hukum oleh Putusan Pengadilan Negeri atas dasar
permohonan dan/atau berupa pengajuan gugatan perdata di Peradilan Umum setempat
yang diajukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kompetensi hukum untuk mengajukan
permohonan dan/atau melakukan gugatan perdata terhadap perkara yang
dimohon/digugat yaitu para pendiri/deklarator. Andai cara ini yang akan ditempuh,
maka BPP Oi dapat menjadi kuasa pemohon/penggugat dengan hak substitusi untuk menguasakan
kembali kepada seorang Advokat atau kepada salah satu Kantor Pengacara, karena
tanpa adanya surat kuasa tersebut BPP Oi tidak dapat bertindak dan tidak
berwenang untuk melakukan perubahan Akta. Kalaupun misalnya Sdr. Iif Ranupane (?)
mau bersikap legowo dan mau
menyerahkan salinan Akta tersebut serta mau menandatangani Akta Perubahan atau meniadakan
Akta tersebut dengan cara membubarkan organisasi Oi versi Akta Pendirian No.
01/Tahun 2000 dan selanjutnya dibuatkan Akta pendirian yang baru, lalu bagaimana
dengan yang lain?,  yaitu para
penandatangan Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 (Sdr. Indra Bonaparte, Sdr. Zaenal
Mutaqin, Sdr. Enong S. Riyadi, Sdri. Kresnowati dan Sdr. Iwan Fals). Andai
misalnya mereka tidak ada masalah, apakah persoalan selesai? Belum! Persoalan
belum berakhir disini, sebab Akta perubahan dan/atau Akta pendirian yang baru
hanya dapat dibuat oleh para pendiri/deklarator baik langsung atau dengan
kuasa.

Persoalan kedua adalah : Apakah para pendiri/deklarator Oi yaitu para
peserta Silaturami Oi Nasional tahun 1999 yang 300 orang lebih itu saat ini
masih dapat dilacak keberadaannya, dihubungi dan dimintai tandatangan dan foto
copy identitas dirinya untuk keperluan memenuhi persyaratan pembuatan Akta pendirian
yang baru sebagai pengganti Akta yang dibuat tahun 2000? Inipun bukan persoalan
yang mudah. Data-data para peserta Silaturahmi Oi Nasional tahun 1999
barangkali masih bisa dicari dalam file Iwan Fals Management (IFM) dan Yayasan
Orang Indonesia (YOI) selaku pemrakarsa dan penyelenggara acara tersebut
(itupun kalau masih terdokumentasi dengan baik), tetapi kalapun misalnya
data-data itu masih ada dan lengkap, apakah saat ini mereka semua masih bisa dilacak
dan dihubungi? Sebagian tentu masih bisa karena sebagian masih tetap berkiprah
dan aktif sebagai anggota Oi di daerahnya, tetapi sebagian yang lain? Hal yang
membuat saya merasa pesimis bahwa mereka dapat dihubungi kembali seluruhnya
adalah mengingat (misalnya) peserta yang dulu mewakili Provinsi Aceh, apakah ia
masih ada dan tidak menjadi korban tsunami yang melanda Aceh beberapa waktu
yang lalu? Apakah peserta yang dulu mewakili Propinsi Timor Timur (yang ketika itu
masih menjadi bagian dari NKRI) masih ada? Apakah ia masih warga negara
Indonesia atau memilih menjadi warga negara Timor Leste? Atau apakah ia masih
hidup dan tidak menjadi korban kerusuhan mengingat pasca jajak pendapat di Timor
Timur telah memakan korban jiwa yang tidak sedikit? Inilah sebuah dilema dari
keterlanjuran yang mungkin tak akan ada ujungnya.

Dengan persoalan yang ruwet tersebut, apakah ke depan organisasi Oi masih
mungkin untuk dilegalisasikan? Jawabannya bisa mungkin bisa juga tidak.
Mungkin, jika seluruh komponen keluarga Besar Oi dapat melakukan rekonsiliasi
nasional dengan mempertemukan kembali para ”tokoh” yang dulu pernah terlibat
berbagai konflik internal dalam tubuh organisasi Oi, khususnya para pembuat Akta
dengan pihak Iwan Fals Management (IFM) dan juga Yayasan Orang Indonesia (YOI).
Rekonsiliasi nasional ini diharapkan dapat dimediasi oleh BPP Oi atau pihak
ketiga yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun cara inipun agaknya juga
tidak mudah, terbukti dalam acara Silaturami dan Reuni Para Pendiri Oi yang
diprakarsai dan diselenggarakan oleh BPP Oi, Iwan Fals Management (IFM) dan
Yayasan Orang Indonesia (YOI) pada tahun 2006 yang lalu di Leuwinanggung menurut
informasi yang saya terima justru berujung pada konflik lama yang kembali
meruncing.

Melihat kenyataan ini saran saya seyogyanya BPP Oi segera membentuk sebuah
Tim Khusus (bisa juga ditugaskan kepada LBH BPP Oi) yang bertugas untuk
menyelesaikan permasalahan ini dan segera berkonsultasi dengan Notaris Rawat Erwady,
SH dengan menyampaikan duduk perkara yang sebenarnya serta meminta saran dan
solusi pemecahannya. Jika Notaris mempunyai pendapat yang sama dengan beberapa
pendapat saya sebagaimana yang saya kemukakan diatas, yakni perubahan Akta
hanya dapat dilakukan oleh para penandatangan, maka tidak ada cara lain Tim
Khusus yang dibentuk BPP Oi agar segera mulai menginventarisasi dan mengumpulkan
data-data para pendiri organisasi Oi yakni para peserta Silaturahmi Nasional Oi
tahun 1999 dan segera melacak keberadaannya. Langkah berikutnya adalah
mengundang mereka dalam suatu pertemuan khusus yang membahas persoalan
tersebut. Jika pertemuan tersebut tidak memungkinkan untuk dapat dilaksanakan,
maka diupayakan agar mereka dapat mengirimkan foto copy identitas diri yang
dilegalisasi oleh Lurah/Camat atau Dinas Kependudukan di tempat mereka
berdomisili serta menandatangani Surat Kuasa kepada BPP Oi untuk : (1).
Mengajukan gugatan perdata/permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
dimana wilayah kerja Notaris yang bersangkutan berada untuk membatalkan Akta
Pendirian organisasi Oi No. 01/Tahun 2000; dan (2). Menghadap Notaris dan
membuat Akta Pendirian organisasi Oi yang baru.

Langkah-langkah ini tentunya akan membutuhkan proses waktu yang cukup
panjang dan memerlukan biaya yang relatif tidak sedikit, belum lagi biaya
sosial yang akan ditanggung Oi yang mungkin tidak akan dapat dinilai dengan
uang. Dilematis memang. Namun jika Akta Pendirian tahun 2000 tidak dibatalkan
dan/atau dibuat Akta perubahannya, maka konsekuensi yang timbul adalah akan ada
2 buah Akta Pendirian organisasi Oi, yang berarti secara de jure akan terdapat 2 organisasi Oi di  Indonesia. Dan bukan tidak mungkin secara de facto pun akan terdapat 2 organisasi
Oi, jika (misalnya) suatu waktu Sdr. Iif Ranupane (?) dkk membentuk
kepengurusan Oi sendiri sebagai tandingan. Jika ini yang kemudian terjadi maka
akan muncul persoalan yang lebih besar. Dan bukan tidak mungkin akan terjadi
konflik tajam dari 2 kubu organisasi Oi yang berbeda dan Sdr. Iif Ranupane
mungkin akan berada diatas angin, karena salah satu penandatangan Akta
pendirian yang salinan aslinya ada padanya (?) adalah Iwan Fals.

Jadi agar tidak terjadi lagi ”keterlanjuran” babak kedua dan suasana
menjadi semakin keruh dan carut-marut, maka sebaiknya BPP Oi segera mencari
solusi yang terbaik dengan memakai prinsip seperti bunyi motto Perum. Pegadaian
yaitu ”menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Atau bisa juga BPP Oi menempuh cara
yang agak ekstrim yaitu memilih ”buta-tuli” dan ”cuek-bebek” seolah-olah tidak
tahu terhadap kesalahan mendasar  yang ada
dalam Akta Pendirian tahun 2000 dan tanpa harus lagi mempertimbangkan berbagai
faktor resiko yang mungkin timbul mendaftarkannya sebagai kelengkapan
persyaratan administratif ke Departemen Dalam Negeri demi memperoleh apa yang
disebut sebuah ”Legalitas”, namun dengan melakukan pembiaran terhadap suatu
”perkeliruan sejarah” dengan mengingkari fakta sejarah yang sebenarnya. Semua akan
kembali berpulang kepada kearifan dan kebijaksanaan berfikir dan bertindak
teman-teman yang saat ini menjabat di BPP Oi dan pihak-pihak yang terlibat
dalam persoalan tersebut. Namun jika memang itu menjadi satu-satunya cara yang
paling mungkin untuk dilakukan (meski bisa jadi akan menyakiti hati sebagian
para pendiri/deklarator dan mengingkari fakta sejarah, karena nama-nama mereka
secara de jure akan segera terhapus
dari daftar nama para pendiri/deklarator Oi), apa boleh buat?. Dan bagi saya
sendiri sebagai salah seorang pendiri/deklarator Oi pada akhirnya harus ikhlas
berpendapat, jika keputusan untuk menggunakan cara itu (sebagai cara yang
paling habis-habisan) yang akan ditempuh, maka sepanjang ada konsensus nasional
dan dengan mendapat persetujuan sedikitnya lebih dari setengah jumlah para
pendiri/deklarator, (jumlah yang masih rasional dan realistik untuk dapat
dilacak keberadaannya), mengapa tidak? ketimbang organisasi Oi ”seumur-umur”
harus selalu dibayang-banyangi dengan embel-embel dan sebutan sebagai
organisasi ilegal (yang kalau disingkat tetap saja Oi – organisasi ilegal). Dan
adalah sebuah tindakan yang konyol apabila BPP Oi saat ini memaksakan diri
mengurus legalitas organisasi Oi dengan mendaftarkannya kepada Departemen Dalam
Negeri dengan menggunakan Akta Pendirian No. 01/Tahun 2000 tanpa meminta pendapat
dari para pendiri/deklarator organisasi Oi maupun suara mayoritas anggota Oi
(konsensus nasional), hanya demi mengejar target ”pokoknya” organisasi Oi
mendapat legalisasi dari pemerintah .

Nah, berdasar pada pengalaman sejarah itulah, maka seyogyanya sekali
sebuah organisasi dibuatkan Akta pendiriannya, maka setiap ada perubahan
(amandemen) Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sudah semestinya
dibuatkan Akta Perubahannya, karena bicara legalitas suatu organisasi, Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang dianggap sah dan berlaku dihadapan
hukum adalah yang di muat di dalam Akta yang dibuat dihadapan Notaris, bukan
dokumen hasil keputusan Musyawarah Nasional meski kewenangan untuk itu ada
padanya.

Apa yang saya uraikan tersebut diatas memang belum pernah diekspose
secara terbuka kepada publik Oi, dan mayoritas anggota Oi bahkan mungkin para
penguruspun tidak banyak yang mengetahui persoalan ini. Namun adanya baiknya
hal ini tidak dibiarkan dan dipendam begitu saja tanpa dicarikan solusi
pemecahannya, karena hal ini dapat menjadi ”bom waktu” yang setiap saat dapat
meledak dan berresiko mengancam eksistensi dan keutuhan organisasi Oi dan
menjadi persoalan yang lebih rumit lagi di masa mendatang.

Akhirnya saya hanya bisa berharap semoga teman-teman yang terlibat dalam ”episode
cerita” ini dan merasa menjadi (maaf) ”aktornya” dapat kembali kepada komitmen
awal saat bertemu dan bersilaturahmi seperti tahun 1999 sambil meneriakkan yel-yel
: ” Oi………………..!!!” dan segera
mengakhiri krisis ini dengan besar hati dan melihat pada kepentingan yang lebih
luas, sehingga di masa depan organisasi Oi benar-benar dapat tumbuh dan
berkembang menjadi sebuah organisasi besar dan bermanfaat bagi masyarakat,
bangsa dan negara sebagaimana yang diharapkan, tanpa adanya cacat sejarah.
Hanya dengan cara itulah organisasi Oi dapat memenuhi tuntutan untuk menjadi
organisasi yang legal.

Tasikmalaya, 5 Oktober 2007


(*)  Penulis adalah anggota Oi Kota/Kabupaten Tasikmalaya. Pernah menjabat sebagai Ketua BPK
Oi Kota/Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1999 - 2001 dan tahun 2005 – 2007 serta
merupakan salah seorang pendiri/deklarator Oi dan pernah menjabat sebagai Ketua
Umum BPP Oi pada tahun 2001 dan akhirnya
mengundurkan diri pada tahun 2002. Sekarang aktif sebagai salah satu Ketua
Kelompok Oi di Kota Tasikmalaya dan menjadi pengamat lepas Oi di Tasikmalaya.
SYARAT ADMINISTRASI
PEMBERITAHUAN KEBERADAAN
ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)
KEPADA DITJEN KESBANGPOL
DEPDAGRI
I.  UMUM
Untuk memberitahukan
keberadaan organisasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1986 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara Pemberitahuan
kepada Pemerintah serta Papan Nama dan Lambang Organisasi, Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) / Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyampaikan
pemberitahuan itu secara tertulis dengan surat pengantar :
 
Ditujukan kepada Yth.
Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen
Dalam Negeri
Up. Direktur Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan.
    Perihal surat  :  Pemberitahuan Keberadaan Organisasi.
    Surat ditandatangani oleh Pengurus Pusat Ormas/LSM.
II.  KHUSUS
Selain syarat umum tersebut di atas, pemberitahuan keberadaan organisasi
juga harus memenuhi syarat-syarat khusus sebagai berikut :
 
1Akte Pendirian yang
dinotariskan.
2.  AD/ART yang dinotariskan.
3.  Program Kerja.
4.  Susunan Kepengurusan.
5.  Kepengurusan DPD I minimal
3 (tiga) Propinsi dan dibuat SK Pembentukan DPD-I
     ditanda tangani Ketua Umum
dan Sekjen, lengkap dengan Alamat Kantor
     Sekretariat DPD-I.
6.  Riwayat Hidup (Biodata)
Pengurus Pusat, Yaitu :
     a). Ketua
Umum.
     b).
Sekretaris Jenderal.
     c).
Bendahara.
     Masing-masing
Riwayat Hidup (Biodata) dilampiri selembar pas foto berwarna
     ukuran 4 x 6 cm.
7.   Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
8.   Foto Copy KTP Pengurus Pusat (Ketua Umum,
Sekretaris Jenderal, Bendahara).
9.   Formulir Isian.
10. Data
Lapangan.
11. Selembar
Foto tampak depan Kantor Sekretariat Ormas/LSM, ukuran kartu pos.
12. Menyampaikan
laporan kegiatan organisasi kepada Direktur jenderal Kesatuan
      Bangsa dan Politik setiap 6 (enam) bulan
sekali.
13.  Izin Domisili Kantor
Sekretariat dari Kelurahan/Kecamatan.
 Kalau Sekretariat Kantor Pusat "ngontrak" atau
dipinjami menempati agar ada
      Surat Keterangan Kontrak.
14.  Lambang
Tidak boleh Gambar Burung Garuda Pancasila.



CATATAN :
- Ormas/LSM yang telah memenuhi syarat adimnistrasi
akan  memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
-  Nomor
Inventarisasi SKT agar dicantumkan pada kop surat Ormas/LSM.



















Sumber :
Direktorat Fasilitasi Organisasi Politik dan
Kemasyarakatan, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik,
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

1 komentar:

  1. Perlu dibicarakan secara mendalam, tentang "kecelakaan sejarah" yang dimaksud bung agar kesalahan sejarah jangan terulang lagi hehehehe

    BalasHapus